Suci Apriani, Ketua Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD)

Bagikan Artikel ini

Nama saya Suci Apriani, atau biasa dipanggil Suci. Usia saya saat ini adalah 21 tahun dan saya tinggal di Dusun Pelowok Barat, Desa Kediri, Lombok Barat. Sehari-hari kegiatan saya biasanya nugas atau nulis laporan untuk kuliah saya, karena saya sedang menempuh pendidikan S1 Pendidikan Kimia di Universitas Mataram. Kalau ditanya kegiatan sehari-hari lagi selain nugas sih, saya suka masak-masak sebenernya, apalagi masakan-masakan yang lagi viral di Instagram, sama lah sama anak muda lainnya.

Selain jadi mahasiswa, saya juga diamanahkan menjadi Ketua Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) Kediri, jadi saya banyak juga mendampingi anak-anak di desa. Karena ini lah jadinya saya banyak terlibat di kegiatan Yes I Do. Tapi selain menjadi Ketua KPAD, saya juga aktif ikut Karang Taruna sama ikut kegiatan PKK, sama ibu-ibu PKK di desa. Biasanya kalau kegiatan PKK saya dilibatin sama ibu-ibu PKK untuk kegiatan senam atau bantu-bantu buat PMT (Pemberian Makanan Tambahan). Kalau Karang Taruna sih awalnya nama saya dimasukkin sama Sekdes (Sekretaris Desa), biar bisa collab gitu dua organisasi ini (re: KPAD dan Karang Taruna).

IMG 0139 edited - Gemilang Sehat

Masalah yang saya hadapi sih sekarang, secara pribadi ya, banyak masyarakat di desa itu yang dulunya baik dan ramah sama saya, misalnya gak segen gitu buat nyapa sekarang karena ada proses belas (pemisahan dua pihak yang ingin dinikahkan), jadi ada efek sampingnya gitu, saya ndak disapa lagi sama mereka, dicuekin. Bukan cuman saya lah sebenernya, yang lain yang ikut belas juga dicuekin, kayak Kholida sama Haekal gitu. Jadi ada stigma negatif tersendiri gitu buat KPAD, dijauhin karena proses belas ini. Awalnya sih jujur sempat mikir ndak kuat, kayak udah beda saja gitu, penat, tapi lama-lama saya sudah terbiasa. Pas awal-awal, sempat saya merasa kecil hati, apalagi kalau dapat laporan dari masyarakat, tapi pihak keluarganya malah nyembunyiin dan ndak laporin. Alhamdulillah-nya, keluarga saya dukung banget ke saya, apalagi kalau proses belas, mereka kasih izinnya, kecuali kalau sudah keluar kabupaten, misalnya ke Lombok Tengah. Orang tua saya ngasih nasihat dan khawatir sebenarnya, ya wajar sih menurut saya. Tapi karena saya biasanya belas-nya dengan para Kadus, jadi tetep dibolehin.

Nah tadi kan yang personal, kalau masalah lainnya itu terkait laporan perkawinan anak di desa sendiri, apalagi kalau yang ngawinin itu orang Pemdes (Pemerintah Desa). Biasanya mereka ndak ngabarin, disembunyiin dulu, udah dua kali ini terjadi. Jadi kalau ada yang bukan keluarga menikah dibawah umur, mereka cepat sekali untuk lapor ke KPAD, tapi kalu sudah keluarga, sudah lah itu ndak dilaporin sama mereka, padahal mereka sudah paham alurnnya.

Selain itu, proses belas masih susah kalau terjadi perkawinan anak di sini. Kami dari KPAD sudah bawa tokoh agama dari desa kami, eh tapi mereka juga punya tokoh adat dan agama juga di desanya. Misalnya, ada anak perempuan Desa Kediri yang dibawa lari sama anak laki-laki desa lain, misalnya kemarin dari Desa Parampuan kemarin. Pas mediasi dengan keluarga anak laki-laki, kami hampir berhasil untuk belas, didukung lagi sama kadus tempat si anak laki-laki ini, tapi tiba-tiba datanglah tokoh adat Desa Parampuan ini. Tokoh adat mereka ini berbeda perspektifnya dengan kita, bertentangan sekali. Bahkan tokoh adatnya ini sudah bawa golok untuk menghalangi dan menakuti kami untuk ndak bawa pulang anak perempuan yang dilarikan ini. Pada akhirnya, gagal upaya belas yang kami lakukan. Intinya, kalau tokoh agama dan tokoh adat dari desa kami sudah paham sebenarnya tentang isu ini, tapi tokoh adat dan agama desa lain itu halangan terbesar kami untuk melakukan belas.

Pertama kali ikut kegiatan dan bergabung dengan Yes I Do itu setelah saya lulus Madrasah Aliyah (MA), itu pun kayak ndak sengaja sebenarnya. Jadi awalnya yang diundang kakak saya, karena dia aktif ikut kegiatan kader dan juga PKK. Diundangnya sama Bang Jek yang dulu jadi Ketua Karang Taruna di sini. Tapi karena kakak saya pas lagi ada agenda lain, saya lah yang diminta datang ke acara itu, eh ternyata acaranya diskusi terkait dialog warga yang mau diadakan di Desa Kediri ini.

Diskusi itu tahun 2017 pokoknya. Nah, tiba-tiba, yang ikut kegiatan itu diminta untuk jadi fasilitator dialog warga, dan saya kebetulan jadi fasilitator kelompok remaja perempuan saat itu. Saya diminta untuk ngebentuk kelompok yang isinya 15 orang, semuanya remaja perempuan. Tantangan terbesarnya waktu itu saya saya harus cari 15 orang ini untuk ikut diskusi, saya dari rumah ke rumah, gedor-gedor lah istilahnya biar mereka ikut dialog warga ini. Kelompok yang saya bentuk ini isinya anak perempuan yang rentan di desa kami, misalnya anak perempuan pengguna narkoba gitu, terus berhasil lah saya ngumpulin mereka, tapi dua kali pertemuan sudah pada bubar.

Akhirnya saya dibantu oleh Mas Awi dulu dari PKBI dan beliau nyemangati saya untuk ngebentuk kelompok dialog warga baru, akhirnya terbentuklah kelompok Kholida ini (Kholida adalah anggota KPAD sekarang yang masih aktif untuk melakukan belas bersama Suci). Jadi kalau ditanya awal mulanya, ya kecemplung ke Yes I Do sebenernya.

Pada saat awal-awal Yes I Do memang masih bingung, apalagi sama isunya. Tapi ternyata setelah bergabung dan menjadi fasilitator, banyak anak-anak sekitar saya yang datang ke rumah, anak-anak rentan lah bisa dibilang, misalnya mereka yang tidak dipedulikan oleh orang tuanya. Saya makin tertarik untuk belajar tentang bagaimana mendidik anak yang baik, dan juga memberikan informasi terkait bahaya Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) misalnya, karena banyak sekali kasus KTD di desa kami.

Di awal-awal program juga saya sebenarnya bingung dan bahkan tidak setuju sebenarnya dengan isu kesetaraan gender yang disampaikan oleh fasilitator yang ngajarin saya. Tapi ternyata, isu yang disampaikan belum lengkap, jadinya saya bingung dan agak ndak setuju. Setelah dijelaskan sama Mbak Owena, dari Plan Internasional, itu lah yang jadi titik balik saya juga bahwa kesetaraan gender itu isunya kompleks, ndak bisa disederhanain, ndak bisa sekedar ‘perempuan harus bisa memimpin’ atau ‘harus jadi imam’, ada banyak hal lain yang harus dipelajari dan beruntungnya saya dapatkan itu di Yes I Do. Bahkan ada teman saya yang ndak setuju dan memutuskan keluar dari KPAD, yaitu dulu yang jadi sekretaris KPAD Kediri keluar karena dia merasa takut salah untuk menyampaikan dan ndak paham jelas terkait kesetaraan gender ini.

Selain KPAD ini, karena saya juga anggota Karang Taruna, saya melihat adanya kesempatan untuk bergabung isu yang dibawa Karang Taruna dengan KPAD. Saya ngeliat kan Karang Taruna ini kebanyakan 25 tahun ke atas, nah KPAD bisa bantu untuk melibatkan lebih banyak anak mudanya. Sebelumnya saya merasa Karang Taruna ini tertutup dan eklusif, apalagi anggaran pertahunnya bisa ratusan juta. Tapi ternyata setelah bergabung awal tahun 2020 ini, saya melihat banyak tokoh-tokoh yang bisa saya jalin kerjasamanya dan bisa lebih gampang kalau mau advokasi di tingkat desa ataupun dusun. Dulu sempat mati kegiatan Karang Taruna ini, tapi tahun ini aktif dan hidup kembali. Saya juga sebenarnya sudah ngobrolin biar kegiatan Yes I Do tetap ada di Desa Kediri dengan dana Karang Taruna yang lebih banyak, misalnya kelas bisnis, dialog warga dan sudah disetujui sama pengurusnya.

Tapi karena kondisi COVID ini, kegiatannya banyak yang ditunda. Upaya saya menggabungkan kegiatan Yes I Do ini karena kegiatan Karang Taruna hanya sebatas ceremonial, misalnya perayaan 17-an, lebaran haji, malam takbiran dan acara-acara lainnya.

Selama saya terlibat dalam kegiatan Yes I Do dan juga diberikan amanah menjadi ketua KPAD Kediri sendiri, banyak sekali manfaat yang saya dapatkan. Tapi kalau ditanya satu manfaat terbesar, saya rasa leadership atau kepemimpinan ini lah yang bisa dibilang merubah hidup saya. Saya ini pertama kalinya menjadi ketua, belum pernah sebelumnya terlibat dalam organisasi apalagi menjadi ketuanya. Saya belajar banyak untuk memimpin oran lain, bagaimana membagi peran dalam kelompok, dengerin pendapat dan tanggapan oran lain, itu yang membuat saya masih terus semangat belajar sampai sekarang. Dulu pas masih ada PKBI, teman-teman dari PKBI banyak mendampingi dan membantu saya belajar terkait kepemimpinan ini, mereka tetap hadir dalam kegiatan, memberikan arahan dan juga masukkan kepada saya pribadi dan KPAD Kediri itu sendiri. Untuk LPAR dan PUPUK itu baru saya kenal dari tahun 2018, jadi awal-awal program full koordinasi dengan PKBI waktu itu, ada namanya Mas Alwi yang sangat suportif kepada saya.

Intinya, saya dulu tuh orang yang benar-benar ndak pernah ikut kegiatan, ndak dikenal, ndak percaya diri kalau ngomong depan orang banyak, ndak pernah ikut terlibat, dan ndak akan didenger juga kalau ada diskusi di desa gitu. Tapi sekarang saya merasa lebih percaya diri dan banyak dipercaya juga oleh orang lain, dapat tanggung jawab yang besar. Pendapat saya sekarang dihargai, atau bahkan diutamakan, untuk maju kedepan dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh di desa, bahkan saya bisa duduk sederet dengan para kadus. Awalnya sih super deg-degan,
sampai sekarang juga masih deg-degan kalau ikut diskusi di tingkat desa, ataupun dusun, tapi saya belajar banyak dari situ, misalnya saya harus putar otak untuk mendengarkan pendapat dari peserta diskusi dan nantinya menyimpulkan apa yang dibicarakan atau bahkan mencari solusinya. Saya belajar berpikir kritis dari proses ini.

IMG 0361 edited - Gemilang Sehat

Selain itu saya sekarang ndak takut lagi untuk mengekspresikan diri. Dulu, karena mungkin kebawa lingkungan di madrasah, sekolah agama, saya selalu dituntut untuk terus menjaga sikap, membatasi ekspresi diri saya, misalnnya menjaga suara saya sebagai aurat. Namun sekarang saya lebih bisa dan bebas untuk mengekspresikan diri saya, dengan hal-hal yang tetap positif. Hal ini juga bisa diliha dari keluarga saya yang sekarang ngasih kepercayaan kepada saya. Misalnya dulu jam 8 malam saja saya pulang sudah dimarahi, dinasehatin, ya memang wajar saya sebagai anak mereka. Namun sekarang saya pulang jam 12 malam pun, kalau memang kegiatan
yang saya ikuti positif, saya ndak dimarah lagi sama orang tua saya.

Saya sangat berharap kedepannya, kegiatan-kegiatan yang sekarang rutin dilakukan, masih terus dapat dilakukan di desa kami, karena banyak sekali dampak positif yang kami rasakan. Saya dan teman-teman KPAD akan terus berjuang untuk tetap mengadakan kegiatan dan kerja-kerja positif khususnya untuk mencegah adanya perkawinan anak di desa kami, di seluruh Lombok Barat dah kalau bisa. Saya juga berharap perempuan-perempuan di sekitar saya dan di luar sana, tetap bisa berjuang bersama-sama, untuk bebas dari kekerasan, bebas dari perkawinan, karena perempuan adalah mahluk yang sangat berharga, dan jangan sampai kita kehilangan itu.

Ingin Mendapatkan Kabar Terbaru dari Kami?

Berlangganan Nawala Yayasan Gemilang Sehat Indonesia

Logo Yayasan Gemilang Sehat Indonesia - Full White

Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI) merupakan lembaga non-profit atau NGO yang bekerja di Indonesia sejak 1997 untuk isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), serta pencegahan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS). Kami percaya bahwa seksualitas dan kesehatan reproduksi manusia harus dilihat secara positif tanpa menghakimi dan bebas dari kekerasan.

Keranjang
  • Tidak ada produk di keranjang.