Rabu, 24 April 2024

Miris, Kekerasan Pada Anak Banyak Terjadi di Sekolah

- Senin, 5 Juli 2021 | 10:26 WIB
PEDULI ANAK: Para narasumber di Pertemuan Ilmiah KB-KR, Rabu (30/6/2021) lalu.
PEDULI ANAK: Para narasumber di Pertemuan Ilmiah KB-KR, Rabu (30/6/2021) lalu.

JAKARTA-Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat kasus-kasus kekerasan pada anak dan remaja meningkat tajam.

”Ini berdasarkan hasil survei KPAI dan Komnas Perempuan,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo saat paparan daring pada kegiatan Pertemuan Ilmiah Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KB-KR), Rabu (30/06/2021).

Ia mengurai hasil survei KPAI menunjukkan 21 kasus kekerasan seksual terjadi di sekolah. Ada 13 kasus atau sebanyak 62 persen diantaranya terjadi di jenjang SD.

”Ada 5 kasus atau 24 persen di jenjang SMP/Sederajat dan 3 kasus atau 14 persen di jenjang SMA,” terangnya.

Sedangkan Komnas Perempuan di tahun 2019 mencatat 2.341 kasus kekerasan terhadap anak perempuan. Diantaranya 770 kasus merupakan hubungan inses dan 571 kasus kekerasan seksual.

”Kekerasaan seksual terjadi di tempat-tempat yang sangat menyedihkan seperti di sekolah di tingkat SD dan SMP dan SMA,” tuturnya.

Hasto mengungkapkan bahkan di tingkat SD justru lebih banyak. Juga ada kekerasan seksual online pada anak menjadi tren baru di banyak negara termasuk Indonesia.

”Maka dari itu pentingnya dilakukan pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini,” jelasnya.

Ia menyatakan banyak tantangan dalam pelaksanaan pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi remaja. Ini dikarenakan masih merupakan hal yang ”tabu” dibicarakan dengan anak sebelum mereka dewasa. Sebenarnya pengenalan seksualitas pada anak diawali dengan mengenal organ reproduksinya, menjaganya dan menjadikan generasi muda yang sehat.

”Bukan dipersepsikan tentang pelajaran hubungan antara pria dan wanita,” imbuhnya saat penutupan pertemuan Ilmiah KB-KR.

Penanggung Jawab Penyelenggara Pertemuan Ilmiah Prof Siswanto Agus Wilopo menerangkan Pertemuan Ilmiah KB-KR yang dilaksanakan secara daring ditutup resmi pada tanggal 30 Juni 2021. Pertemuan ini akan di lanjutkan dengan konferensi internasional tentang KB dan KR pada bulan Juli 2022.

Pertemuan ilmiah kali ini menampung seluruh kerja keras anggota konsorsium mulai dari penelitian, intervensi model baru dan evaluasi program KB dan KR di Indonesia. Ini untuk memenuhi kebutuhan bukti-bukti ilmiah yang dapat digunakan oleh seluruh pihak

”Tindak lanjutnya akan disampaikan pada pihak pemerintah. Dalam hal ini BKKBN dan Kementerian Kesehatan untuk menjadi bahan pertimbangan perbaikan program KB dan KR kedepan,” katanya.

Pertemuan ilmiah ini digagas bersama Pusat Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada. Bersama dengan Rutgers WPF Indonesia dan didukung Konsorsium A Champion of Indonesia Family Plannning and Reproductive Health. Dengan tema Memperkuat Kebijakan dan Strategi Implementasi Program KB-KR Berdasarkan Data dan Kajian Ilmiah.

”Seluruh materi yang dipresentasikan dalam pertemuan ilmiah ini dapat diakses seluas-luasnya melalui laman Website icifprh.com selama setahun ke depan,” tambahnya.

Ada dua masalah krusial yang dihadapi pemerintah dalam pelaksanaan program KB dan KR saat ini. Menjamin kelangsungan pemakaian kontrasepsi modern dengan prioritas pada pelayanan pemasangan Alat Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) seperti IUD (intra uterine device) dan implan atau susuk KB.

Selain itu dalam pelaksanaan program KB dan KR saat ini adalah menjamin pelaksanaan program berbasis hak klien. Artinya klienlah yang menentukan pilihannya. Itu berarti pemerintah harus menjamin informasi yang seluas-luasnya kepada mereka yang membutuhkan pelayanan yang terjangkau dan berkualitas serta non-diskriminatif dan ekual untuk semua kelompok.

Bukti ilmiah memperlihatkan jika masyarakat mendapatkan informasi dan pelayanan seluas-luasnya dan berkualitas maka kinerja program akan dengan sendirinya meningkat. Bukti ilmiah lain memperlihatkan kelangsungan pemakaian kontrasepsi modern dengan prioritas pada pelayanan pemasangan Alat Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) seperti IUD dan implan atau susuk KB. Ini akan berdampak sangat baik bagi kinerja program dan aspek kesehatan dan psikologis klien. Tentu ini di barengi dengan pemberian informasi dan konseling yang benar, sehingga pilihan jenis kontrasepsi tetap pada klien.

Masalah lain adalah pembiayaan pelayanan KB/KR yang terlindungi oleh BPJS. Pada pusat pelayanan swasta maupun bidan praktik swasta, hal ini masih belum dipahami karena minimnya informasi.

”Mereka cenderung memberikan pelayanan KB dengan KB suntik dari pada MKJP, karena tarif yang dibayarkan BPJS untuk pelayanan MKJP masih sangat rendah,” tambahnya.

Pembahasan KR remaja yang menunjukkan berbagai inovasi baru. Cakupan program masih cukup rendah. Sementara dorongan dari luar yang menekan (pressures) membuat mereka berperilaku negatif jauh lebih kuat dan lebih besar termasuk dorongan dari media-media sosial. Kadang informasinya benar-benar bertentangan dengan informasi yang seharusnya diberikan pada remaja.

”Hal ini merupakan tantangan dan pekerjaan rumah besar bagi bangsa Indonesia ini agar kita dapat meraih bonus demografi di masa depan,” ujar Prof Siswanto.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Meiwita P Budiharsana merangkum hasil Pertemuan Ilmiah ini seperti yang dikemukakan Prof Siswanto. Ini merupakan sesuatu yang luar biasa, dalam jangka waktu yang pendek (dua bulan) dapat mengembangkan jejaring KB/KR dan Kespro Remaja yang cukup kuat. Ini bukan hal yang mudah, dan merupakan kekuatan (Strength) bersama.

Namun kelemahan masih belum dapat menciptakan kemitraan yang maksimal dengan remaja masih merupakan komunikasi satu arah. Belum memberikan kesempatan yang maksimal bagi kaum muda untuk bersuara menentukan pilihan.

”Misalnya dalam penentuan agenda acara. Mereka memiliki program-program yang kreatif dan inovatif. Pertemuan kali ini masih bergaya lama (business as usual),” terangnya.

Prof Meiwita menambahkan BKKBN nampaknya ingin membuka kesempatan untuk bekerja sama. Program-program inovatif yang dilaksanakan oleh UNFPA, Rutgers WPF Indonesia, JHCCP dan organisasi lainnya yang sudah melakukan beragam terobosan.

Namun, BKKBN sendiri tidak bisa memberikan jaminan yang sangat mendasar membuka akses informasi tanpa adanya diskriminasi umur dan status perkawinan. Hal yang sangat mendasar sama sekali tidak disentuh. Padahal materi-materi dari program-program Rutgers misalnya menyasar ke sana.

”Masih belum ada pintu yang terbuka untuk akses informasi seperti ini karena pintu di UU No 52 tentang Kependudukan masih tertutup untuk itu,” tambahnya. (nur/adv/r10)

 

Editor: Baiq Farida

Tags

Terkini

KKP Sesuaikan Harga Patokan Pemanfaatan Jenis Ikan

Sabtu, 30 Maret 2024 | 17:50 WIB

UU Desa Disahkan, Kapan Mulai Berlaku?

Sabtu, 30 Maret 2024 | 14:00 WIB
X