RE-ADVERTISED: LOWONGAN TENAGA AHLI UNTUK BASELINE PKPR

Bagikan

Latar Belakang

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Upaya Kesehatan Anak pada pasal 28 – 31 menjelaskan mengenai Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) yang diintegrasikan dengan Unit Kesehatan Sekolah (UKS). Pada pasal 30 ayat (2) menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada semua remaja, dilaksanakan di dalam atau di luar gedung untuk perorangan atau kelompok. Layanan PKPR merupakan pendekatan yang komprehensif dan menekankan pada upaya promotif/preventif berupa pembekalan kesehatan dan peningkatan keterampilan psikososial dengan Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat (PKHS). Layanan konseling menjadi ciri dari PKPR mengingat permasalahan remaja yang tidak hanya berhubungan dengan fisik tetapi juga psikososial. Upaya penjangkauan terhadap kelompok remaja juga dilakukan melalui kegiatan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE), Focus Group Discussion (FGD), dan penyuluhan ke sekolah-sekolah dan kelompok remaja lainnya. Dalam Profil Kesehatan pada tahun 2016 menunjukan bahwa terdapat 4.461 dari 9.731 puskesmas (31%) telah mampu melaksanakan PKPR dengan rasio minimal 4 puskesmas per kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia. (Kesehatan, 2016).

Secara global, Sustainable Development Goals (SDGs) menargetkan di tahun 2030 pada target spesifik di 3.7.2 bahwa tingkat kelahiran remaja (berusia 10-14 tahun, berusia 15-19 tahun) per 1.000 wanita di kelompok usia tersebut. Sedangkan melihat persoalan kesehatan remaja di Indonesia hingga saat ini menunjukkan tingkat kelahiran di usia muda di usia 15 – 19 tahun yang stagnan dari tahun 2000 sampai 2012, situasi yang sama berlaku untuk tingkat kelahiran di kalangan remaja. Tingkat fertilitas pada usia 15-19 tahun adalah 51 dalam 1,000 kelahiran pada tahun 2002, dan 48 dalam 1,000 kelahiran pada tahun 2012, sebuah perubahan yang tidak signifikan (SDKI 2002 dan 2012). Padahal pada Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menargetkan 30 kelahiran per 1.000 perempuan. (JHCCP, 2017)

Di sisi lain, dari pengalaman Rutgers dalam kurun waktu tujuh (7) tahun mengembangkan layanan kesehatan peduli remaja yang diintegrasikan dengan PKPR, terdapat kendala yang dialami oleh PKPR, di antaranya:  1) Jam layanan yang tidak memenuhi kebutuhan pelajar; 2) Tidak adanya fasilitas PKPR; 3) Tidak tersedianya dana membuat minimnya kegiatan yang memenuhi kebutuhan remaja; 4) Sosialisasi PKPR yang tidak merata; 5) Kurangnya kualitas pelayanan konseling dan konselor sebaya; dsb.. Beberapa Puskesmas yang secara aktif merespon kebutuhan remaja dengan memberikan layanan PKPR, mengalami tantangan rendahnya angka kunjungan remaja ke Puskesmas. Hanya 12% remaja yang menyadari tentang keberadaan pusat informasi seperti Pusat Informasi Remaja dan Konseling (PIK-R), Youth Center, dan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), dan hanya 2% dari mereka yang benar-benar mengakses layanan ini (SKRRI, 2007 dan 2012). Sedangkan penelitian lain pada survey RPJMN di tahun 2015, hanya terdapat 5% dari remaja usia 10 – 18 tahun di Indonesia yang pernah mengakses informasi dan pusat konseling, kondisi ini tidak berubah sejak tahun 2003 (JHCCP, 2017).

Melihat data yang ada, salah satu karakteristik remaja saat ini adalah keterikatan dan integrasi mereka dengan dunia digital. Dalam lima tahun terjadi pergeseran signifikan cara remaja di perkotaan mengakses internet. Pada 2011, sekitar 56% remaja usia 15-19 tahun mengakses internet dari Café-café. Namun pada 2016, mereka mengakses internet dari rumah dan sebagian besar menggunakan perangkat mobile sejak pagi hingga menjelang tidur. Puncaknya mereka mengakses internet pada pukul 19:00 – 22:00. Aktivitas internet remaja terbesar saat ini adalah untuk berinteraksi dengan sosial media, mengakses dunia maya, bermain games, mengunduh apliasi/film dan mendengarkan musik.  Nielsen membagi Gen Z dalam dua area. Kelompok pertama berusia 10-14 tahun atau yang disebut anak-anak dan kelompok lainnya 15-19 tahun, disebut remaja. Di kelompok pertama, kebiasaan membaca media cetak hanya dilakukan 4% anak. Sisanya sebanyak 98% memilih menghabiskan waktu menonton televisi, 13% bermain internet, 10% memakai televisi berbayar, dan 7% mendengarkan radio. Lalu di kalangan remaja, hanya 9% yang masih membaca dalam bentuk cetak, mulai dari koran, majalah dan tabloid. 97% memilih televisi, 81% memilih internet, 14% mendengarkan radio dan sisanya televisi berbayar sebanyak 10%. Begitupun dengan minat membaca buku. Menurut Nielsen Consumer & Media View Q2 2016, hanya 11% anak-anak yang suka membaca. Sisanya suka berolahraga sebanyak 44%, menonton televisi 32%, mendengarkan musik 25% dan menjelajah internet 17% (Katadata, 2016). Dalam era digital, akses remaja Gen Z terhadap teknologi, komunikasi, dan internet dapat menjadi peluang dalam memperluas metode layanan PKPR ke depan.

Jika berbicara PKPR, salah satu programnya merupakan program peer counselor atau konselor sebaya yang juga ditujukan untuk mengedepankan pelibatan remaja. Sebuah penelitian dari Pusat Kesehatan Reproduksi Fakultas Kedokteran UGM menyebutkan bahwa beberapa isu utama yang terdapat dalam program remaja yang diimplementasikan, baik secara langsung atau tidak langsung, adalah isu-isu agama, adat, teknologi, dan disintegrasi program. Apalagi, program kesehatan reproduksi masih dianggap sebagai masalah sensitif dan bahkan tabu untuk didiskusikan dan dilakukan. Sehingga perlu diteliti lebih lanjut mengenai efektivitas dari program konselor sebaya sendiri dalam pelayanan kesehatan peduli remaja.

Walaupun demikian, survey Perilaku Berisiko Kesehatan pada Pelajar SMP dan SMA di Indonesia menunjukan kebutuhan untuk pengembangan program kesehatan sekolah termasuk di antaranya adalah penguatan program dan tim pembina UKS dan PKPR (Litbangkes, 2015). Kementerian Kesehatan mencoba menjawab permasalahan tersebut melalui program yang ditargetkan pada akhir tahun 2019 untuk mendorong sebanyak 45% puskesmas di Indonesia menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan peduli remaja ini, dengan harapan intepretasi kualitas yang paripurna (≥80%) serta menguatnya konselor sebaya. Namun melihat implikasi dari kurangnya angka kunjungan remaja pada layanan PKPR serta pertanyaan mengenai efektivitas program konselor sebaya, maka perlu dikaji kembali konsep PKPR yang telah dilakukan sejak tahun 2003 hingga tahun 2017 yang menurut data dari dua penelitian yang berbeda tidak memberikan angka signifikan. Kementerian Kesehatan perlu melakukan refleksi dan pertimbangan mengenai konsep baru yang mengikuti perkembangan serta kebutuhan remaja sebagai pengguna layanan dengan perspektif kebaruan yang diinginkan oleh Gen Z tersebut.

Rutgers WPF Indonesia bekerjasama dengan Direktorat Kesehatan Keluarga memiliki ambisi untuk meningkatkan layanan kesehatan reproduksi yang ramah bagi remaja, yang mampu memenuhi kebutuhan remaja, berdaya guna, dan mampu memiliki kendali.

Situasi saat ini

Kementerian kesehatan telah memiliki kebijakan, panduan/modul/ yang telah selama tiga (3) tahun digunakan sebagai pegangan bagi Puskesmas untuk menjalankan layanan PKPR. Saat ini, Kementerian Kesehatan perlu meninjau kembali perkembangan alat tersebut sekaligus untuk memastikan utilisasi layanan meningkat, mampu beradaptasi dengan situasi saat ini dan mampu diterapkan.[1] Rutgers WPF Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan akan melakukan riset baseline layanan PKPR untuk mencapai tujuan tersebut.

Pertanyaan Kunci Penelitian:

  • Apakah konsep PKPR yang diadakan sejak tahun 2003 masih valid hingga saat ini?
  • Apa faktor kunci dari PKPR yang banyak diakses oleh remaja?
  • Bagaimana kompetensi Puskesmas yang mampu memberikan pelayanan kesehatan peduli remaja dengan setting wilayah rural dan urban di 7 Kota di Indonesia?
  • Bagaimana bentuk layanan PKPR yang dibutuhkan dan mau diakses oleh remaja dengan setting wilayah rural dan urban di 7 Kota di Indonesia?
    • Apa kebutuhan spesifik dari remaja?
    • Apa intervensi spesifik yang dapat menjangkau remaja?
  • Bagaimana pemetaan pemberian layanan jika pemberian layanan diklasifikasikan menjadi:
  1. Face to Face: melalui layanan di dalam gedung dan di luar gedung.
  2. Virtual interaktif yang dapat diakses secara langsung oleh remaja.
  • Bagaimana tipologi remaja dengan setting wilayah rural dan urban di 7 Kota di Indonesia yang akan mengakses konselor remaja?
  • Bagaimana potensi layanan PKPR mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah dan dukungan oleh remaja untuk keberlanjutan program tersebut?

Stakeholder Utama yang Terlibat:

  • Kementerian Kesehatan
  • Dinas Kesehatan di 7 lokasi kerja: Bandar Lampung, DKI Jakarta, Sukabumi, Rembang, Semarang, Denpasar, dan Lombok Barat.
  • Puskesmas di 7 lokasi kerja: Bandar Lampung, DKI Jakarta, Sukabumi, Rembang, Semarang, Denpasar, dan Lombok Barat.
  • Sekolah dukungan RutgersWPF
  • Mitra Kerja Program GUSO dan Yes I Do (PKBI Lampung, PKBI DKI Jakarta, PMI Jakarta Timur, Ardhanary Institute, Yayasan Pelita Ilmu, PKBI Sukabumi, PKBI Jawa Tengah, PKBI Rembang, PKBI Bali, PKBI NTB)
  • Remaja di sekolah, remaja luar sekolah, dan kelompok remaja termarjinalisasi (disabilitas dll)

 

Keluaran Konkrit

  1. Inception Report – analisa dari review dokumen dengan data sekunder, draft instrument yang akan digunakan, dan rencana lebih detil pengumpulan data. Laporan ini menggambarkan tiap tahapan dalam penelitian memberikan kontribusi apa terhadap proses menjawab pertanyaan baseline. Laporan ini ditulis dalam Bahasa Indonesia.
  2. First draft Report – Deskripsi singkat dari perkembangan yang telah dikerjakan (secara teknis dan finansial) termasuk pembuatan tools; aktivitas yang direncanakan setelah pembuatan tools; rencana turun lapangan; dan hasil sementara yang telah didapatkan. Laporan ini ditulis dalam Bahasa Indonesia.
  3. Final Report – Laporan lengkap tentang temuan kunci, hasil analisa, dan proses pelaksanaan baseline. Selain itu juga laporan ini akan berisi rekomendasi konkrit untuk Kementerian Kesehatan berkaitan dengan pertanyaan kunci baseline Laporan tersebut ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan tambahan Ringkasan Eksekutif dalam bahasa Inggris.

Proposal Penelitian

Metodologi penelitian harus tercermin dalam rencana penelitian, metodologi yang diharapkan digunakan dalam baseline ini adalah mix methods (quantitative and qualitative). Pertanyaan penelitian utama dimaksudkan untuk memandu konsultan atau peneliti untuk fokus pada isu-isu kunci saat merancang metode, menganalisis hasil dan temuan dan rekomendasi. Proposal penelitian memberikan garis besar bagaimana masing-masing pertanyaan akan diakomodasi dengan mempertimbangkan waktu dan ketersediaan sumber daya. Peneliti atau konsultan perlu mengembangkan sub-sub pertanyaan untuk memberikan jawaban pertanyaan kunci. Sub-Sub pertanyaan dapat dikonsultasikan kepada tim quality control RutgersWPF lebih lanjut.

Struktur proposal penelitian dapat mencakup (namun tidak terbatas) sebagai berikut:

  • Perumusan kembali permasalahan
  • Penajaman pertanyaan kunci penelitian
  • Metodologi yang diajukan (termasuk kode etik, manajemen risiko dan antisipasi yang diberikan, dsb)
  • Rencana kerja
  • Anggaran (termasuk biaya konsultan / peneliti utama, biaya kerja, dan biaya lapangan)

Tata Kelola Penelitian

Konsultan akan berkoordinasi dengan PO GUSO sebagai narahubung utama. Sedangkan untuk quality control akan berkoordinasi dengan SRHR Specialist dan PME Coordinator Rutgers WPF Indonesia, selain itu juga Kementerian Kesehatan melalui Puslitbangkes akan mendorong kualitas dari riset baseline PKPR ini.

Rutgers WPF Indonesia juga akan bekerja dengan mitra GUSO dan Yes I Do di 7 wilayah kerja (Lampung, DKI Jakarta, Sukabumi, Rembang, Semarang, Bali, dan Lombok Barat), yakni PKBI Lampung, PKBI DKI Jakarta, PMI Jakarta Timur, Ardhanary Institute, Yayasan Pelita Ilmu, PKBI Sukabumi, PKBI Jawa Tengah, PKBI Rembang, PKBI Bali, PKBI NTB) yang akan berperan sebagai sumber informasi sekaligus memfasilitasi penyelenggaraan pengumpulan data lapangan dan logistik.

Estimasi waktu dikerja adalah 20 hari dengan batas waktu baseline hingga workshop adalah tanggal 20 Desember 2017.

Aktivitas Kunci

  1. Pembuatan Tools: Pembuatan tools baseline ini akan melibatkan tim Puslitbang Kementerian Kesehatan. Diharapkan konsultan dapat menggabungkan dua tools yang dimiliki oleh Kementerian Kesehatan dalam Standar Nasional PKPR serta tools penilaian layanan kesehatan ramah remaja yang telah dikembangkan oleh Rutgers. Konsultan juga diharapkan dapat memberikan justifikasi kuat pada Kementerian Kesehatan untuk meyakinkan disusunnya tools yang ideal tersebut.
  2. Kick-Off workshop dengan Kemenkes dan Rutgers: Setelah pengumpulan data dan review dokumen dilakukan, workshop pengembangan instrument pengumpulan data primer akan dilakukan bersama dengan Kemenkes dan Rutgers. Hasil persetujuan instrument menjadi dasar persetujuan untuk pengumpulan data lapangan ke 7 wilayah kerja Rutgers.
  3. Pengumpulan data: Peneliti memberikan rincian metode pengumpulan data dan analisa data dengan rencana melakukan reduksi/interpretasi data.
  4. Workshop Verifikasi hasil temuan lapangan; Workshop dilakukan pasca pengumpulan dan analisa data untuk memverifikasi hasil dan sekaligus penyerahan laporan inception tahap 1.
  5. Finalisasi Laporan: Proses revisi dan perbaikan laporan dilakukan secara teknis oleh RutgersWPF dan Kemenkes. Dialokasikan untuk melakukan perbaikan paling banyak 3 kali hingga penentuan persetujuan laporan akhir. RutgersWPF berhak untuk tidak membayar penuh konsultan apabila tidak memenuhi kriteria kualitas dan isi dari output yang diharapkan (akan diatur lebih detil dalam kontrak konsultan selanjutnya).

 Konsultan Riset dengan Kualifikasi:

  1. Berpengalaman menjadi lead researcher minimal 5 tahun.
  2. Memiliki kemampuan yang relevan dalam metode penelitian secara kualitatif dan kuantitatif, terutama di sektor kesehatan reproduksi remaja. (dibuktikan dengan hasil laporan penelitian di mana calon peneliti memberikan keterangan spesifik peranan yang dilakukan dalam pekerjaan tersebut).
  3. Memiliki kemampuan menulis laporan yang bagus dengan kemampuan untuk menghasilkan laporan penelitian yang ringkas dan akurat (dibuktikan dengan hasil laporan penelitian di mana calon peneliti memberikan keterangan spesifik peranan yang dilakukan dalam pekerjaan tersebut).
  4. Memahami tata kelola sistem kesehatan Indonesia.
  5. Memiliki kemampuan analisis yang tinggi; kemampuan untuk mengumpulkan dan menafsirkan data dan informasi.
  6. Memiliki pengetahuan tentang standar dan pengetahuan kerja penelitian
  7. Memiliki pengetahuan tentang isu-isu lintas sektoral seperti gender, kemitraan, isu anti-korupsi, dan pemahaman tentang konteks sosial dan politik Indonesia.
  8. Memiliki pengetahuan dalam bidang kesehatan masyarakat sebelumnya yang berkaitan dengan kaum muda dan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi akan menjadi keuntungan.
  9. Memiliki kesediaan dan minat untuk bekerja dengan kaum muda.
  10. Memiliki kemampuan interpersonal yang baik dan sikap terbuka.

 

Pengajuan Proposal

Proposal diajukan terbatas paling banyak 8 halaman yang mencakup konten berikut:

  1. Bagian teknis: metodologi kerangka waktu & rencana kerja yang diusulkan
  2. Bagian keuangan: biaya konsultasi dan biaya perjalanan (jika ada)

Mohon mengirimkan dokumen sebagai berikut:

Letter of Interest yang dilampirkan:

  1. CV;
  2. Proposal penelitian;
  3. Contoh kerja yang telah dilakukan (secara spesifik disebutkan posisi kerja ketika melakukan pekerjaan tersebut).

Maaf, Lowongan ini Sudah Ditutup

Dapatkan Info Terbaru Seputar Kesempatan Bekerja
di Yayasan Generasi Sehat ndonesia !

Logo Yayasan Gemilang Sehat Indonesia - Full White

Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI) merupakan lembaga non-profit atau NGO yang bekerja di Indonesia sejak 1997 untuk isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), serta pencegahan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS). Kami percaya bahwa seksualitas dan kesehatan reproduksi manusia harus dilihat secara positif tanpa menghakimi dan bebas dari kekerasan.

Keranjang
  • Tidak ada produk di keranjang.